Monday, September 29, 2014

Mengemas Pertunjukan Tradisional Berdaya Jual


Budaya industri seni pertunjukan mau tak mau merasuki budaya masyarakat bangsa dan negara Republik Indonesia. Mau menonton asal ada saweran, mau menikmati budaya sakral dan budaya khas Nusantara asal berbayar. Penonton barulah boleh menikmati seni pertunjukan. Kultur industrial mulai masuk dalam kemasan dan paket hiburan yang berdaya tarik yang bernilai jual. Pola bayar-membayar untuk menonton seni pertunjukkan ini, meski akhirnya menuai protes karena saban pentas kerap diperjualbelikan dan diperdagangkan justru menimbulkan ketegangan. Mau kemana seni industri dan seni pertunjukan di Indonesia ini? Jawaban dari Butet Kartaredjasa, pemakalah berjuluk “Seni Pertunjukan dan Kultur Industrial?... boleh jadi cocok dengan kondisi seni pertunjukan dan kultur industrial saat ini.

Wayang kulit adalah contoh yang paling bagus. Hingga hari ini pergelaran wayang kulit tidak pernah mati dan para dalang wayang kulit masih terus bertahan di tengah gempuran industri hiburan modern. Salah satu menyebab bertahannya pertunjukan wayang kulit adalah pola kehidupan tradisional yang kuat meski para penonton sudah memasuki cara hidup modern. Upaya modifikasi atau pemoderan gaya pertunjukan wayang kulit (dengan instrumen musik dan bintang tamu selebritis misalnya) hanya berguna sebagai aksen. Istilah Jawanya hanya sebagai penglaris. Selebihnya wayang kulit tetap bertahan dengan pola tradisional, mulai dari pakem cerita hingga bangunan aksesori yang dibutuhkan dalam musik atau plot yang sudah menjadi baku.

Wayang kulit di Jawa (Tengah) masih menjadi bagian dari upacara sosial yang penting. Artinya, wayang kulit tidak hanya dilihat sebagai produk, melainkan bagian dari ekspresi dan artikulasi sosial-budaya para penonton. Dia memiliki akar yang kuat dalam kesadaran para penonton. Wayang kulit juga masih menjadi bagian penting dari kebudayaan lisan masyarakat Jawa. Dalam kasus wayang kulit, antara proses dan produk sama sama penting. Proses dalam arti bahwa wayang kulit adalah seni pertunjukan lisan yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat dalam budaya lisan yang kuat. Sementara produknya (pertunjukan wayang kulit) itu merupakan perwujudan dari budaya lisan Jawa yang sampai sekarang belum tergantikan oleh seni pertunjukan modern yang ada.

Seni pertunjukan modern (drama, film, sinetron) yang diproduksi oleh industri hiburan di Indonesia selama ini selalu menggunakan bahasa Indonesia, sementara masyarakat kita dalam kehidupan sehari-hari masih banyak yang menggunakan bahasa daerah masing-masing. Artinya, seni pertunjukan modern belum menjadi bagian (proses) berbahasa masyarakat di daerah-daerah. Maka, seni pertunjukan semacam ini hanya dapat diambil sebagai produk, dan bukan sebagai proses.

Dalam budaya industrial yang mementingkan produk massal, seni pertunjukan hams dilihat sebagai produk. Dalam kebudayaan tradisional seni pertunjukan lebih dilihat sebagai proses. Maka, jika berbicara bagaimana membangkitkan seni pertunjukan sebagai bagian dari industri, kita harus mengambil sebagai produk. Maka jika orang menciptakan seni pertunjukan dalam budaya industrial, orientasinya juga produk.

Pertanyaannya adalah, bagaimana memproduk seni pertunjukan melulu sebagai produk jika tidak didukung oleh proses yang kuat? Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa seni pertunjukan sebagai seni (kreatif) akan menghadapi bahaya jika harus memenuhi arus percepatan produksi massal dalam kecepatan tinggi. Banyak seniman seni pertunjukan (berbasis seni tradisi atau seni modern) yang akhirnya menjadi mekanis akibat memenuhi tuntutan percepatan produksi. Para seniman menjadi kehabisan energi dan ide sehingga hanya mengulang-ulang produk.

Asasnya kemudian bukan pada kreativitas orisinal, melainkan pada reproduksi. Suatu produk akan direpro terus-menerus, kalau perlu dibuat ulang dengan versi baru, begitu seterusnya, agar memenuhi target (kejar tayang). Jika kemudian suatu produk dirasa sudah habis daya jual, maka dibuang saja lalu menciptakan bentuk lain yang belum tentu suatu inovasi baru. Masyarakat industrial pada dasarnya memang tidak peduli dengan orisinalitas. Sesuatu yang hari ini ngetrend dan dianggap baru, besok sudah usang dan dilupakan. Maka besoknya orang memerlukan sesuatu yang baru, meski hal itu hanya pengulangan dari yang lama. Kebaruan bukan pada isi, melainkan pada kemasan.

Itulah asas reproduksi dalam budaya industrial. Yang penting adalah tampilan atau kemasan, dan bukan substansi atau saripati atau isi di balik kemasan itu. Sebenarnya watak manusia industrial dalam hal ini tidak berbeda jauh dengan watak masyarakat tradisional (budaya lisan) yang cepat melupakan sesuatu dan besok mengunyah sesuatu yang lain. Besoknya lagi sudah bosan dan lupa dengan sesuatu itu, lalu melupakannya lagi. Begitu seterusnya.
Jadi, seni pertunjukan yang cocok dengan budaya industrial adalah seni pertunjukan yang mamu menyesuaikan diri dengan kebutuhan, yaitu seni pertunjukan yang mampu mengubah-ubah format dengan cepat sesuai tuntutan selera dan percepatan produksi secara massal. Untuk memproduksi seni pertunjukan semacam ini dibutuhkan proses yang berbeda dengan seni pertunjukan tradisional seperti yang dicontohkan dengan wayang kulit itu. Dari dulu, wayang kulit itu ya begitu-begitu saja. Tapi justru karena masyarakat penonton hidup di alam budaya lisan, maka tetap hidup.

Tapi dalam budaya industrial yang dibutuhkan adalah kecepatan. Dan itu hanya dapat dipenuhi dengan mereproduksi kemasan. Memang kadang dibutuhkan inovasi atau penemuan besar secara estetik-kreatif, tapi itu tidak selalu dapat dipenuhi. Penemuan besar tidak dapat dibuat tiap hari. Maka, jika ada penemuan besar, harganya sangat mahal. Kreativitas menjadi sangat berharga. Dan setelah kreativitas diperoleh, maka harus terus direproduksi ulang dengan tampilan atau kemasan yang berbeda-beda, disesuaikan dengan perkembangan selera konsumen.    

Itulah perbedaan pertama antara seni pertunjukan tradisional dan seni pertunjukan modern. Seringkali produsen seni pertunjukan yang berbasis seni murni yang mengandalkan kreativitas murni akan terengah-engah mengejar tuntutan produksi dalam industri hiburan modern. Kaum seniman ini tidak terbiasa dengan irama industri hiburan yang menuntut kecepatan. Lebih dari itu, cara bekerja mereka memang memiliki basis yang berbeda: kaum seniman murni berorientasi pada penemuan artistik (yang tidak dapat dibuat setiap hari) sementara kaum industrialis berorientasi pada reproduksi format atau kemasan.
readmore »»